Sabtu, 21 Maret 2009

Pengembangan Pemahaman Ekonomi Syariah Melalui Lembaga Pendidikan

Oleh : Nurlailah

Abstrak

Bank syariah yang muncul sejak tahun sembilan puluhan, sampai saat ini belum begitu dikenal oleh masyarakat. Indikator minimnya pemahaman masyarakat terhadap bank syariah, adalah minimnya jumlah nasabah di seluruh bank syariah, atau bank yang mengadakan kegiatan dengan sistem syariah. Hal itu dapat dimaklumi, sebab perbankan konvensional sudah beroperasi di Indonesia puluhan tahun yang lalu. Sedangkan perbankan syariah baru berdiri belasan tahun. Disamping itu, perbankan konvensional, terkadang memberikan hadiah yang cukup besar kepada nasabah, walaupun dengan cara undian. Sedangkan pada perbankan syariah, hadiah seperti itu belum dikenal atau barangkali tidak diperkenankan dalam perbankan syariah. Minimnya pemahaman terhadap perbankan syariah, tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga terjadi di kalangan masyarakat akademis, di perguruan tinggi. Oleh karena sistem syariah yang diperlakukan pada bank-bank syariah, perlu dikenal oleh masyarakat, termasuk masyarakat akademis, maka seharusnya materi perbankan syariah diajarkan di seluruh program studi di perguruan tinggi, bukan hanya di Fakultas Ekonomi. Pemberian materi perbankan syariah di perguruan tinggi itupun, tidak cukup hanya dengan memberikan teori kepada mahasiswa, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk lembaga perbankan dengan sistem syariah di dalam kampus, sehingga mahasiswa mengetahui secara pasti praktek perbankan syariah tersebut. Bank syariah yang didirikan di perguruan tinggi tersebut, juga sekaligus akan menjadi laboratorium, tempat praktek perbankan oleh mahasiswa, dari berbagai program studi yang ada.

Kata kunci: perbankan syariah, perbankan konvensional, lembaga pendidikan.

A.Pendahuluan

Perbankan nasional saat ini, tidak hanya didominasi oleh bank konvensional, tetapi sejak tahun 1992 telah diramaikan juga oleh bank syariah. Sejak lahirnya Bank Muamalat tahun 1992, yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah, maka persaingan bisnis perbankan, tidak hanya antara bank konvensional saja, tetapi muncul persaingan antara bank syariah dengan bank konvensional.

Bank Muamalat Indonesia (BMI) adalah bank syariah pertama di Indonesia. Dalam musyawarah nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 22-25 Agustus 1990 di Jakarta, MUI mengamanatkan dibentuknya kelompok kerja MUI. Hasilnya, pada tanggal 1 Mei 1992, BMI mulai beroperasi. Setelah menjadi pemain tunggal selama beberapa tahun, belakangan muncul dan tumbuh bank-bank baru, yang kegiatan operasionalnya berdasarkan prinsip syariah. Bank umum yang murni syariah selain BMI, adalah Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI).

Bank Syariah muncul, adalah untuk menjalankan prinsip ekonomi sesuai dengan norma-norma yang terdapat dalam sumber primer ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Diantara cici-ciri ajaran Islam, dalam bidang ekonomi, adalah bersih dari praktek riba. Sebagian ulama berpendapat bahwa praktek bank-bank konvensional mengandung unsur riba. Indikator perbankan konvensional disebut riba adalah adanya tambahan dari modal pokok yang terdapat dalam praktek perbankan konvensional tersebut. Proses atau tahapan keharaman praktek riba, berpatokan pada ayat-ayat al-Qur’an, antara lain artinya sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kalian kepada Allah, supaya kalian mendapat keberuntungan Juga ayat al-Qur’an yang terjemahnya sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba (yang berlum dipungut), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu tidak meninggalkan sisa-sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu, dan jika kamu bertaubat (dari praktek tiba), maka bagimu pokok hartamu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Praktek ekonomi tanpa riba, sebenarnya bukan mempersulit umat Islam, tetapi justeru ingin membersihkan kehidupan mereka. Ayat-ayat tersebut di atas, menekankan tentang keharaman hukum riba, yang oleh sebagian ulama dianggap terdapat atau bahkan identik dengan perbankan konvensional, sehingga para pemikir Islam berusaha untuk mendirikan perbankan syariah yang bersih dari praktek riba.

Dengan adanya ayat-ayat yang melarang praktek riba, yang dapat dikatakan identik dan tidak dapat dipisahkan dengan bank konvensional, maka ulama-ulama Islam di Indonesia berkeinginan untuk mewujudkan bank syariah. Sebelum bank syariah tersebut muncul di Indonesia, bank syariah telah ada di beberapa negara Islam, misalnya : Saudi Arabia, Dubai, Jordan, Kuwait, Bahrain, Turki, Pakistan, Iran, Banglades, Senegal, Malaisia, dan di beberapa negara Eropah, misalnya: Swiss, dan London. Adanya bank-bank syariah di beberapa negara Islam tersebut , berpengaruh terhadap Indonesia.

B. Hakekat Bank Syariah

Pada awal operasinya, hakekat bank syariah belum banyak dikenal oleh masyarakat. Akibat lebih lanjut adalah belum diminatinya bank tersebut, bila dibanding dengan bank-bank konvensional. Landasan hukum bank yang menggunakan sistem syariah pada mulanya sudah tertuang dalam UU No. 7 tahun 1992. Namun pembahasannya mengenai sistem bagi hasil, diuraikan hanya sepintas dan merupakan “sisipan” belaka. Namun pada era reformasi diperjelas dalam UU No.10 tahun 1998. Dalam UU tersebut diatur dengan rinci landasan hukum , serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan oleh bank syariah. Juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional, untuk membuka cabang syariah atau bahkan menkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Selain itu, pada pertengahan tahun 2008 telah diterbitkan Undang-undang No 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, yang memuat ketentuan-ketentuan operasional perbankan syariah.

Dengan adanya Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan syariah tersebut, maka diharapkan pengembangan perbankan syariah akan semakin meluas, dan lembaga pendidikan dapat merespon positif dengan membuka lembaga keuangan syariah di dalam lingkungannya. Bank syariah lebih dari sekedar bank dengan keragaman produk dan skema keuangan yang lebih bervariasi, fleksibel dan saling menguntungkan.

Bank syariah di Indonesia, diyakini akan terus tumbuh. Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), hingga akhir 2007, terdapat bank konvensional yang membuka Kantor Cabang (Kanca) Syariah, yang dikenal dengan Unit Usaha Syariah (UUS), yang sampai akhir tahun 2007 berjumlah 26 UUS, antara lain: BRI Syariah, BNI Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank Permata Syariah, BII Syariah, Bank HSBC Syariah, BTN Syariah, BNK IFI Syariah, Bank Niaga Syariah, Bank DKI Syariah, Bank Jabar Syariah, BPD Riau Syariah, BPD Kalimantan Selatan Syariah, BPD Sumatera Utara Syariah, BPD Aceh Syariah, BPD Nusa Tenggara Barat Syariah, BPD Kalimantan Barat Syariah, BPD Sumatera Selatan Syariah. Sedangkan Bank Umum Syariah berjumlah 3 bank, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI)

Industri perbankan di Indonesia mencatatkan prestasi yang cukup baik. Bank dengan sistem bagi hasil ini, semakin hari menunjukkan kiprahnya sejak keberadaannya 16 tahun yang lalu. Namun demikian, pemahaman sebagian masyarakat tentang bagaimana sesungguhnya operasional bank syariah, masih relatif terbatas. Hal ini terlihat dari masih minimnya jumlah nasabah bank syariah, atau bisa diduga karena masyarakat masih menganggap bahwa tidak ada bedanya bank syariah dengan bank konvensional. Atau bahkan yang menfonis bahwa sesungguhnya bank syariah, adalah bank konvensional yang diganti berbagai macam istilah, sehingga terlihat disyariatkan.

Memang bank syariah belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Bahkan umat Islam sendiri, belum banyak mengetahui bank syariah, lebih-lebih lagi mengenai kinerja keuangannya. Ketidakpahaman masyarakat Indonesia tentang bank syariah, dapat disebabkan oleh beberapa hal. Diantara beberapa hal tersebut adalah belum lamanya bank tersebut berkembang dan beroperasi di Indonesia, kurangnya informasi mengenai bagaimana operasional bank syariah, keterbatasan pemahaman masyarakat tentang dasar hukum yang digunakan, sistem bagi hasil yang tidak transparan, tidak meratanya perkembangan bank tersebut di seluruh daerah, dan masyarakat belum memahami perbedaan yang prinsip antara bank konvensional dengan bank syariah

Ketidaktahuan masyarakat tentang bank syariah, karena tidak meratanya penyebaran lokasi bank, terbukti dengan tidak dibukanya bank syariah tersebut pada setiap daerah, setidak-tidaknya daerah Kabupaten. Dengan realitas seperti ini, maka wajar masyarakat tidak mengetahui secara pasti, bagaimana kinerja bank syariah tersebut. Dengan keadaaan seperti ini, tidak mengherankan bila masyarakat tidak mengetahui bagaimana sistem bagi hasil yang diterapkan oleh bank syariah, dan tidak mengetahui perbedaan yang prinsip antara sistem bagi hasil yang diterapkan oleh bank syariah, dengan sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional selama ini.

Kondisi yang demikian, juga membawa dampak yang cukup besar, yaitu kurangnya minat masyarakat untuk menjadi nasabah bank syariah, baik sebagai penabung maupun sebagai peminjam. Masyarakat yang tidak mengetahui persis bagaimana kinerja keuangan bank syariah, dapat menduga bahwa kinerja keuangan bank syariah tidak begitu bagus, seperti kinerja bank konvensional. Inilah salah satu sebab yang mengurangi minta masyarakat terhadap bank syariah.

C. Pengembangan Pemahaman Bank Syariah di Lembaga Pendidikan

Oleh karena masih minimnya pemahaman dan minat masyarakat terhadap bank syariah, seperti dikemukakan di atas, maka masih sangat perlu ditingkatkan pemahaman masyarakat, termasuk masyarakat akademis, terhadap bank syariah tersebut. Pemahaman terhadap bank syariah, terasa lebih penting lagi bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ada dua alasan mengapa pemahaman terhadap bank syariah tersebut perlu dikembangkan di lembaga pendidikan Islam.

Pertama, bank syariah adalah kebutuhan yang tidak dapat dielakkan, sebab menurut Sutan Remy Syahdeini, saat ini sulit untuk menemukan ilmuwan muslim dengan otoritas keagamaan yang tinggi, yang mendukung penafsiran pragmatis dari riba dan yang mendukung transaksi-transaksi yang berdasarkan bunga. Lebih lanjut, menurut Sutan Remy Sjahdeini, penafsiran yang sempit mengenai riba yang berpendapat bahwa bunga perbankan modern adalah riba, telah menimbulkan kebutuhan terhadap perlunya didirikan lembaga-lembaga keuangan yang kegiatan usahanya berdasarkan selain bunga. Jadi, dalam hubungan inilah, bank syariah merupakan pengganti dari sistem perbankan konvensional.

Adapun tujuan pengembangan perbankan syariah itu sendiri adalah mencapai kesuksesan yang hakiki dalam berekonomi, berupa tercapainya kesejahteraan yang mencakup kebahagiaan (spiritual) dan kemakmuran (material) pada tingkatan individu dan masyarakat.

Agar tercapai tujuan tersebut, dalam pelaksanaan kegiatan perbankan syariah selain mengacu pada UU perbankan syariah di atas, maka diperlukan juga beberapa fondasi ekonomi syariah yang mencakup antara lain sebagai berikut:
– Meletakkan tata hubungan bisnis dalam konteks kebersamaan universal (ukhuwah) untuk mencapai kesuksesan bersama
– Kaidah –kaidah hukum muamalah (syariah) di bidang ekonomi yang membimbing aktivitas ekonomi, sehingga selalu sesuai dengan syariah
– Budi pekerti (akhlak) yang membimbing aktivitas ekonomi senantiasa mengedepankan kebaikan sebagai cara mencapai tujuan
– Ketuhanan Yang Maha Esa (aqidah) yang menimbulkan kesadaran bahwa setiap aktivitas manusia memiliki akuntabilitas ketuhanan, sehingga menumbuhkan integritas yang sejalan dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan market discipline

Di Indonesia, yang penduduk muslimnya berjumlah lebih kurang 85% dari keseluruhan penduduk, sangat terasa akan kebutuhan terhadap bank syariah, sebab dalam kenyataannya, sejarah belum pernah mencatat adanya bank syariah yang bankrut, akibat krisis ekonomi yang menimpa sebuah negara yang memiliki bank syariah. Berbeda dengan bank syariah, bank konvensional banyak yang terpuruk dan bankrut, akibat krisis ekonomi di Indonesia. Dengan bertahannya perbankan syariah dari krisis ekonomi tersebut, maka dapat dibaca di media cetak, bahwa terdapat beberapa bank yang ingin mengkonversikan diri dari bank umum, menjadi bank syariah atau melakukan pula kegiatan perbankan berdasarkan prinsip syariah dengan membuka cabang-cabang yang melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Salah satu penyebab terjadinya konversi tersebut, menurut Sutan Remy, adalah karena bank konvensional tersebut mengalami kerugian, akibat negarive spread (selisih negatif antara bunga tabungan dengan bunga pinjaman).

Ketika terjadi krisis ekonomi tahun 1998, Bank-bank tersebut mengalami negatif spread, karena di satu pihak harus membayar bunga simpanan yang sangat tinggi, sedangkan di pihak lain bunga pinjaman (baik untuk kredit baru maupun kredit yang sedang berjalan), dibebani tingkat bunga yang lebih rendah dari tingkat bunga simpanan. Disamping itu, juga disebabkan oleh kredit-kredit yang semula lancar, akhirnya menjadi kredit bermasalah, yang tidak menghasilkan bunga (menjadi non performance loans). Sebagai akibat negative spread tersebut, bank-bank konvensional mengalami kerugian yang luar biasa besarnya, bahkan banyak yang modalnya negatif, karena memikul kerugian tersebut.

Berbeda dengan perbankan konversional, perbankan syariah walaupun dalam keadaan krisis ekonomi tetap bertahan, karena bank syariah tidak berbasis bunga tetapi berdasarkan prinsip bagi hasil atau profit and loss sharing principle. Dalam prinsip profit and loss sharing principle ini, pihak bank syariah tidak memiliki kewajiban untuk membayar bunga tinggi kepada para nasabah, seperti yang berlaku pada bank konvensional, tetapi bank syariah hanya membayar bagi hasil. Dalam hal ini, jika keuntungan bank syariah tinggi, maka pihak bank membayar bagi hasil yang tinggi pula kepada para nasabah. Sebaliknya, jika keuntungan bank syariah rendah, maka pihak bank syariah cukup memberikan bagi hasil yang rendah juga kepada para nasabah. Jadi, disinilah perlunya meningkatkan pemahaman terhadap perbankan syariah melalui lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan Islam. Dengan usaha pemahaman seperti ini, maka masyarakat semakin menyadari bahwa sistem ekonomi Islam adalah sistem yang berkeadilan, persis seperti yang dikehendaki al-Qur’an, yaitu la tadlimuna wala tudlamuna. (tidak ada yang dirugikan, tetapi justeru saling diuntungkan).

Kedua, peningkatan pemahaman terhadap bank syariah pada lembaga pendidikan Islam khususnya, sangat penting dilakukan, karena masalah ekonomi bukan hanya masalah masyarakat tertentu, tetapi kepentingan masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, peningkatan pemahaman terhadap bank syariah, bukan hanya diberikan pada Fakultas Ekonomi, atau jurusan ekonomi, atau program studi ekonomi saja, tetapi harus diberikan pemahaman kepada seluruh program studi di lembaga pendidikan, lebih-lebih lagi lembaga pendidikan Islam. Peningkatan pemahaman terhadap bank syariah oleh seluruh mahasiwa di perguruan tinggi Islam perlu dilakukan, karena masyarakat pada umumnya mengenal mahasiswa di perguruan tinggi Islam, sebagai orang-orang yang menguasai segala permasalahan keagamaan. Mereka tidak mengenal spesialisasi keilmuan, yang cukup beragam yang terdapat pada lembaga Islam. Bila terdapat seorang sarjana agama, maka masyarakat menganggap bahwa sarjana tersebut memahami segala permasalahan keagamaan Islam, termasuk perbankan syariah.

D.Konsep perbankan syariah di lembaga pendidikan Islam.

Peningkatan pemahaman perbankan syariah di kalangan mahasiswa di lembaga pendidikan Islam, tidak cukup hanya berupa teori saja, tetapi harus disertai praktek nyata, bagaimana operasional perbankan syariah tersebut. Oleh karena itu, perlu didirikan lembaga keuangan di setiap lembaga pendidikan Islam, walaupun mungkin bersifat terbatas untuk kalangan kampus, misalnya Baitul Mal Wa Tanwil (BMT),atau Bank Mini Syariah. Kalaupun lembaga pendidikan belum mampu mendirikan Lembaga keuangan Bank secara mandiri, maka bisa melakukan kerja sama dengan perbankan syariah yang sudah ada.

Adapun Konsep- konsep yang dikenal dalam sistem ekonomi syariah terdiri dari: Pertama, konsep simpanan murni (al-wadi’ah), yaitu produk bank syari’ah, dengan maksud untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang memiliki kelebihan dana, untuk menyimpan dananya dalam bentuk tabungan wadiah maupun giro wadiah. Wadiah adalah perjanjian penitipan dana antara pemilik dana dengan pihak yang dipercaya untuk menjaga dana titipan tersebut. Adapun imbalan yang diberikan bank adalah berupa bonus. Kedua, konsep bagi hasil (syirkah), yaitu suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. Bentuk produknya adalah berdasarkan prinsip mudharabah berupa tabungan dan deposito serta pembiayaan mudharabah . Disamping itu, konsep bagi hasil juga diterapkan dalam prinsip musyarakah berupa pembiayaan dan penyertaan. Ketiga, konsep jual beli (al-tijarah) yaitu suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, di mana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan oleh nasabah, atau mengangkat nasabah sebagai agen bank untuk melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin). Bentuk produk ini berupa prinsip murabahah, salam, dan istishna’.

Keempat, konsep sewa menyewa (al-ijarah), yaitu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Ijarah terdiri dari dua jenis yaitu: 1)Ijarah, sewa murni, misalnya persewaan traktor dan alat-alat produk lainnya (operating lease), dan 2) Ijarah al-muntahiya bit tamlik, merupakan penggabungan sewa dan beli, di mana penyewa mempunyai hak untuk memiliki barang pada akhir masa sewa (financial lease). Kelima, konsep jasa atau fee ( al-ajr wa al-umulah) yang meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank, misalnya kliring, inkaso, transfer, dan lain-lain.

Dalam konsep bagi hasil (syirkah) misalnya, seorang nasabah menyimpan uang pada bank syariah, tidak mengenal istilah bunga. Ketika pihak bank syariah mengalami penurunan keuntungan dari hasil usaha yang dilakukan, pihak bank syariah tentu akan memberikan bagi hasil kepada nasabah dengan jumlah yang sedikit. Sebaliknya, pada saat bank syariah mengalami keuntungan yang tinggi dari hasil usaha perbankan yang dijalankannya, maka pihak perbankan syariah akan membagi hasil yang besar juga kepada pihak nasabah.

Jadi, pihak nasabah tidak akan menuntut keuntungan atau bagi hasil yang tinggi, pada saat pihak perbankan syariah mengalami keuntungan yang sedikit. Hal ini berbeda dengan sistem bunga yang diterapkan pada bank konvensional. Pada bank konvensional, pada saat nasabah menabung, sudah ditetapkan bunga yang akan dia terima. Di tengah perjalanan, misalnya pihak perbankan mengalami kerugian, pihak nasabah tidak peduli walau perbankan konvensional mengalami kerugian. Nasabah hanya mengetahui bahwa hak dia, adalah seperti yang dijanjikan sejak awal oleh pihak perbankan. Oleh karena itu, nasabah tetap menuntut bunga , seperti yang dijanjikan, walaupun pihak perbankan mengalami kerugian yang besar. Dengan cara seperti ini, maka pemahaman mahasiswa terhadap perbankan syariah, akan lebih mendalam. Dengan cara seperti itu pula, mahasiswa pun akan mampu menjelaskan kepada masyarakat umum mengenai perbankan syariah dengan tepat dan benar, sehingga masyarakat tidak salah paham lagi terhadap perbankan syariah. Selanjutnya diharapkan masyarakat akan berminat kepada perbankan syariah.

Konsep lain yang diterapkan dalam perbankan syariah adalah sistem jual beli (al-tijarah). Sistem ini adalah suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, di mana bank sebagai pejual, sedangkan nasabah bertindak sebagai pembeli. Harga yang ditetapkan oleh bank adalah sebesar harga beli ditambah margin (keuntungan), sesuai kesepakatan antara nasabah dengan pihak bank. Dalam konsep jual beli ini, setelah bank mengambil keuntungan (margin), bank memberikan kesempatan kepada nasabah untuk mengangsur barang tersebut sesuai waktu yang disepakati antara nasabah dengan pihak bank syariah.

D. Kesimpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem perbankan syariah, belum banyak dikenal di kalangan masyarakat. Minimnya pemahaman terhadap perbankan syariah, dibuktikan dengan minimnya nasabah yang bertransaksi dengan perbankan syariah yang sudah ada. Minimnya pemahaman terhadap perbankan syariah, tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat awam, tetapi juga di kalangan masyarakat akademis. Ketidakpahaman masyarakat akademis terhadap perbankan syariah, terjadi, karena masalah keuangan hanya diajarkan di Fakultas Ekonomi, atau program studi ekonomi saja. Padahal persoalan ekonomi, apalagi ekonomi Islam, adalah persoalan seluruh umat Islam. Dengan demikian, sudah saatnya pemahaman terhadap sistem perbankan syariah perlu diberikan di seluruh program studi yang ada di perguaraun tinggi, terutama perguruan tinggi Islam.

Daftar Kepustakaan
Antonio, Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, 2001, Jakarta, Gema Insani.
Bank Indonesia, Laporan Perekonomian, 2007, Bank Indonesia.
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, 2005, Yogyakarta, UPP-AMP YKPN.
Syahdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, 2005, Jakarta, Pustaka Utama Grafitti.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah al-Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahnya, 1977. Jakarta, Bumi Restu.

1 komentar:

  1. assalamu'alaikum wr.wb
    setelah membaca dan mencoba memahami materi yang ibu berikan di blog, ternyata masih banyak hal-hal yang kurang saya fahami terutama mengenai rumusz CAR. mohon pertemuan minggu depan ibu jelaskan lagi agar lebih faham mengenai perbankan.
    wassalamu'alaikum wr.wb

    nama Mina Romayya

    BalasHapus